Showing posts with label Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Hikmah. Show all posts

Kerja Ikhlas

Cerita berikut menunjukkan filosofi pedagang kecil dlm melakukan banyak aktivitas ekonominya. Banyak yg masih seperti ini sampai skr. Tapi elit sering lupa pada mereka.

"Kerja Ikhlas"

Di sebuah desa kecil di Madura, ada seorang nenek penjual cendol keliling.

Cendolnya khas, racikannya pas, dan menjadi minuman favorit orang-orang di kampung itu. 

Setiap hari ia menembus terik matahari, menyusuri pematang tembakau, berkeliling dari gang ke gang untuk melayani para pelanggannya. 

Berangkat pukul sepuluh pagi, pukul satu siang cendolnya sudah habis terbeli. 

Suatu hari menjelang Pemilu, rombongan Bupati hendak melakukan kunjungan kerja ke desa tersebut. 

Tokoh masyarakat pun bersiap menyambut tamu2 terhormat itu. Mereka bermaksud menyuguhkan hidangan istimewa. 

Salah seorang kiai terpandang yang turut sibuk sebagai tuan rumah teringat cendol favorit sang nenek. Cocok untuk suguhan minuman khas kampung itu.

Maka, pas pukul sepuluh, pak kiai sendiri langsung menemui sang nenek di sudut jalan yang biasa dilaluinya. 

“Assalamualaikum. Bu, mimpi apa semalem?” sapa pak kiai.

“Waalaikum salam. Eh, Pak Kiai, memang ada apa, Pak Kiai?”

“Hari ini Ibu tak usah capek-capek keliling. Cendol Ibu kami beli semuanya!” 

“Wah, jangan, Pak. Mohon cendol saya jangan dibeli semua.” 

“Lho kenapa? Seharusnya Ibu bersyukur, dong? Selain tidak perlu capek-capek berkeliling kampung, kami beli dengan harga lebih. Ini rezeki nomplok namanya, tak iye?” rayu sang kiai.

“Ya, saya senang cendol saya laku, tapi saya sedih memikirkan pelanggan saya yang sudah menanti saya di pinggir ladang, tukang-tukang bangunan, dan anak-anak kecil yang haus sehabis bermain di dekat rumah mereka. Saya berkeliling demi mereka.”

Mendengar jawaban sang nenek, kiai itu terkesiap dan sadar, siapa yang hatinya lebih “kiai” dalam hal ini. 

Ia dapat pelajaran tentang kerja ikhlas. 

Tak semua orang berdagang semata demi uang. 

Kerja profesional sehingga cendolnya jadi minuman favorit bisa dipadukan dengan aktivitas spiritual: ketulusan mengabdi.

Ikhlas sering disalahartikan sebagai “ala kadarnya” dalam bekerja, lemah, dan tidak memiliki karakter determinatif. 

Dalam pengertian dasarnya, ikhlas itu tidak lain adalah menyandarkan seluruh aktivitasnya karena Allah semata. 

Ikhlas berada di ranah emosi dan transendensi (emotional and transcendental domain). 

Bagi mereka, yang penting bekerja dengan baik (yang sifatnya subjektif), orang lain menilainya baik ya Alhamdulillah, menilainya tidak baik pun tetap Alhamdulillah. Yang menjadi orientasinya adalah apa yang dilakukan sesuai dengan garis yang diyakini akan kebenarannya dan Tuhan Yang Maha Esa berkenan menerimanya. 

Apresiasi, baik yang bendawi (tangible) maupun nonbendawi (intangible), bukanlah tujuan yang dicarinya, akan tetapi kalau menerima apresiasi akan diposisikan sebagai konsekuensi. 

Yang menjadi tujuannya bukan apresiasi melainkan keridaan Tuhan melalui bekerja dengan baik.

Bahkan, Imam Malik memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita tentang ikhlas: 
salah satu kebiasaan Imam Malik selalu membawa sapu tangan ke mana-mana. Untuk apa? Ternyata untuk landasan di saat sujud supaya tidak berbekas di dahinya; beliau khawatir keikhlasannya yang semata-mata karena Allah terganggu dengan “pandangan dan penilaian” manusia, gara-gara di dahinya tampak bekas sujud. 
Min atsaris sujud bukanlah tanda bekas fisik akibat sujud. 
Tanda min atsaris sujud adalah semakin dekatnya kita kepada Yang Mahakuasa dan semakin bermanfaatnya kita bagi sesama.

[Mohammad NUH]

AIRMATA RASULULLAH SAW...

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
'Bolehkah saya masuk?' tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
'Maafkanlah, ayahku sedang demam', kata Fatimah yang membalikkan badan dan
menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan
bertanya pada Fatimah, 'Siapakah itu wahai anakku?'
'Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,'
tutur
Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan
yang
menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi! bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
'Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia.
Dialah malaikatul maut,' kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan
tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan
kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit
dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
'Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?', tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah.
'Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
'Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,' kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh
kecemasan. 'Engkau tidak senang mendengar khabar ini?', tanya Jibril lagi.
'Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?'
'Jangan khawatir, wahai Rasul ! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat
Muhammad telah berada di dalamnya,' kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh
Rasulullah ditarik.

Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya
menegang. 'Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.'
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya
menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

'Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?'
Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
'Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,' kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak
tertahankan lagi.

'Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku.'
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera
mendekatkan telinganya. 'Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku'
'peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.'


Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan
telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

'Ummatii,ummatii,ummatiii?' - 'Umatku, umatku, umatku'
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi

Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Menghadirkan Rasa Takut Kepada Allah

Oleh: Dr. Muhammad Nabil Ghanayim

Sesungguhnya, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Kesudahan yang baik hanya bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat, salam, dan berkah semoga tercurah kepada pemimpin hidayah, sebaik-baik orang yang bertakwa, Muhammad saw, kepada keluarga dan para shahabat beliau, bintang-bintang penunjuk dan teladan dalam ketakwaan.

Takwa kepada Allah swt adalah sebaik-baik bekal perjalanan hamba dari dunia fana menuju negeri abadi. Allah berfirman, "Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal." (Al-Baqarah: 197)

Orang berakal adalah orang yang menyadarinya (bekal takwa) dan melaksanakannya. Sebab, dia akan menghadapi suatu hari, yang pada hari itu harta dan anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang bersih.

Meskipun manusia merasakan nikmat kesehatan, harta, kedudukan dan kekuasaan di dunia, tapi semua nikmat itu akan sirna dan musnah. Setelah itu, manusia akan menghadap Alah dengan hanya membawa amal baik dan buruk. Jika dia ke surga seluas langit dan bumi - yang dipersiapkan untuk orang-orang bertakwa - maka dia mendapat balasan yang ratusan kali lipat lebih baik dibanding ketika di dunia. Atau jika ke neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu - yang dipersiapkan untuk orang-orang kafir- maka dia akan mendapat balasan siksa dan kepayahan ratusan kali lipat lebih buruk lagi dahsyat dibanding ketika di dunia.

Makna takwa, seperti yang dijelaskan shahabat Ali ra, adalah tegak di atas rasa takut kepada Allah, mengamalkan At-Tanzil (Al-Qur'an), dan bersiap untuk menghadapi hari akhir. Demikianlah, dengan kalimat yang 'padat' ini beliau menjelaskan pokok-pokok dan rukun takwa.

Takut kepada Allah adalah pokok hikmah dan mutiara iman. Hanya orang yang mengetahui Allah dan melaksanakan hak-hak-Nya-lah yang takut kepada Allah. "Sesungguhnya, yang takut kepada Alah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (Fathir:28)

Karena itu, takut tanpa amal tidaklah cukup. Hakikat khauf (takut) membangkitkan motivasi beramal; barang siapa takut kepada Allah tentu akan melaksanakan kewajiban dan menjauhi keharaman yang ditetapkan-Nya. Seorang hamba yang khauf, dia akan selalu merasa diawasi dan merasakan kehadiran-Nya. "Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada." (Al-Hadid: 4)

Sebaik-baik amal adalah yang berdasarkan wahyu Allah; dari Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya. Inilah hakikat bersiap untuk hari akhir (kematian), berpisah dengan dunia (kiamat), pertemuan dengan Allah (perhitungan dan pemaparan amal), dan hari pembalasan (surga atau neraka).

"Dan terang-benderanglah bumi (Padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabbnya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para Nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dirugikan. Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan." (Az-Zumar: 69-70)

"Pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa." (Ibrahim: 48)


Qurban Terbaik


Sent by: Ust. M. Taufik Zoelkifli

Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban.
Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku,
dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu
sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu
berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut
menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul
Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak
dini tentang pengorbanan NabiAllah Ibrahim & Nabi Ismail.

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih
hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada
seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar
melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

" Berapa harga kambing yang itu pak ?" ujarku menunjuk kambing coklat
tersebut.

" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta
rupiah tidak kurang" kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling
sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.

" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si
pedagang bertahan.

" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama

" Maaf pak, masih jauh." ujarnya cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah
berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku

" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek

" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?"
ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa
datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan
mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si pedagang meledek.

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan
harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku
alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan
bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat
penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban
belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan
tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian

" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah" katanya

Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek
menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian
"korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum

" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek." kata si pedagang setengah
malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

" Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?" kata si kakek
dalam bahasa Tegalan

" bisa di tawar-kan ya mas ?" lanjutnya mencoba negosiasi juga.

" Cari kambing yang lain aja kek.. " si pedagang terlihat semakin malas
meladeni.

" Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki
(Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)

Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas." katanya tetap
bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya.
Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam
belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh
ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

" Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah
ya mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya
sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima
uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar
demi lembar uang itu.

" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan

" Ora ono ongkos kirime tho...?" (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si
kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih

" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yg cukup jujur
memberikan lima puluh ribu ke kakek

" mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah
menjadi mbah)

" Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa
ditabung lagi)" kata si kakek sambil menerimanya

" tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat
itu ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid
Baiturrohman,

takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe
Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah
anak-anak sudah tahu)."

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di
sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang di
sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku.
Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya
tetap dengan semangat.

Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya
berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol,
sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap
bulan oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang
berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti
hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku
sebagai ……….
Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi.
Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja
cukup membeli seekor kambing Mega Super..
Yang sanggup mengkoleksi "raket" hanya untuk olah-raga seminggu sekali
Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus
Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku
yang harganya tidak lebih dari service rutin ku, kendaraanku di dunia
fana. Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir
seribu kali saat membelinya.

Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati
hambaMu yang tak pernah berSyukur ini ke arah orang yang pandai
menSyukuri nikmatMu.